Get Lost in Papandayan

“Kita salah jalan deh,”kataku pada Erwan yang berada tepat di belakangku,” seingat gw jalur menuju Tegal Alun ga tertutup dan ga securam ini..”
“Tapi kata temen gw ada jalur lain koq dari Pondok Salada menuju Tegal Alun yang jalurnya lutut ketemu dada kayak gini,” Erwan menjawab setengah ragu.
“Terus bagaimana?” Lanjutnya,”Lu mau balik dan nyari jalur yang bener?”
“Hell no,”jawabku spontan,”Gw yakin diujung jalan ini kita bisa ketemu Tegal Alun, tapi mungkin emang ga lewat Hutan Mati.”

Itulah sedikit spekulasi kami sebelum memutuskan meneruskan langkah, memanjat jalur tebing menuju apa yang kami percaya akan membawa kami ke Tegal Alun, padang Edelweis terluas di gunung Papandayan.

Perjalanan ini kami awali dengan 7 anggota. Aku, Erwan dan temannya, Alz, Asep, Daniel, dan Gita. Namun ketika melintas jalur air antara Pondok Salada dan Hutan Mati, sepatuku kemasukan air. Akhirnya aku memutuskan berhenti sebentar untuk mengeringkan kaos kaki. Kupersilahkan teman-teman untuk berjalan lebih dulu. Erwan memutuskan menemaniku.

Setelah hampir setengah jam, kaos kakiku mulai mengering. Kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan, yang akhirnya membawa kami ke jalur asing ini.

Walaupun yakin bahwa kami tidak berada di jalur yang seharusnga, aku tidak berniat mundur. Karena jalur yang kami lewati cukup jelas, dan aku yakin ini adalah jalur pendakian juga. Hanya saja jalur ini jauh lebih berat dan sangat tertutup dibanding jalur Hutan Mati yang landai dan terbuka.

Tak lama kemudian, jalur tanjakan berakhir. Berganti dengan jalur landai dengan satu sisi terbuka. Dari sana aku mulai bisa memetakan posisi kami. Dari sisi jalur yang terbuka aku bisa melihat Hutan mati yang sangat eksotis. Setelah mengambil beberapa foto, aku dan Erwan melanjutkan perjalanan, mengikuti jalur yang ternyata malah membawa kami turun. Masih dengan keyakinan bahwa di ujung jalur ini kami akan bertemu dengan teman-teman yang lain, kami mempercepat langkah. Dan benar saja, begitu keluar dari hutan ini, kami melihat lapangan yang sangat luas, dihiasi bunga Edelweis yang tumbuh hampir merata, ciri khas Tegal Alun.

Selain padang Edelweis, kami juga menemukan lapangan rumput yang sangat halus. Seperti sebuah mini sabana di tengah keindahan para Edelweis. Sebelum melanjutkan perjalanan menemui teman-teman yang kami yakini menunggu di sisi lain Tegal Alun, tak lupa aku minta difoto beberapa kali di spot ini.

Daniel yang pertama melihat kami ,”koq kalian dari sana?” tanyanya heran.
“Nyasar,”jawabku sekenanya dan langsung menghempaskan diri di samping Alz dan Gita yang sedang beristirahat. Alz yang sedang tidur langsung terbangun kaget. Aku tak peduli, kurebahkan tubuh lelahku disana. Erwan, Gita dan Daniel kemudian asik berfoto dengan rimbunan Edelweis. Baru saat itu aku tersadar, “Asep mana?” tanyaku.

“Belum sampai…” jawab Alz.
“Lah, gw pikir bareng kalian..”
“Wah, jangan-jangan dia nungguin gw ama Erwan. Tapi kan kita ga sejalur..” Aku bimbang. Apakah akan menjemput Asep atau cukup menunggu saja disini. Sedikit rasa bersalah menyeruak di hatiku. Setelah lebih kurang 10 menit berlalu, Asep masih belum muncul. Akhirnya kuputuskan menyusuri jalur yang tadi diambil oleh Daniel dkk, kembali ke arah Hutan Mati. Sebelum menuruni jalur terjal menuju Hutan Mati, kuedarkan pandangan sejauh mungkin. Mencoba mengenali Asep diantara puluhan pendaki lainnya yang tertatih melangkah melewati tanjakan pendek ini. Akhirnya kutemukan dia di ujung Hutan Mati. Kuputuskan untuk menunggu saja. Begitu tiba di dekatku, Asep mengaku dia memang menungguku dan Erwan, bahkan sempat berbalik karena kami tidak kunjung tiba. Bersama Asep aku kembali ke Tegal Alun menemui teman-teman yang sudah menunggu.

Dari Tegal Alun misi selanjutnya adalah menuju puncak Papandayan. Namun belum satupun dari kami yang pernah kesana atau sekedar tau jalannya. Info yang kami dapatkan sebelum berangkat sangatlah minim, “dari Tegal alun jalan terus, kemudian belok ke kiri.” Hanya itu modal petunjuk jalan kami. Akhirnya kami berbelok ke kiri pada ruas jalan pertama, yang akhirnya membawa kami menuju sebuah jurang yang masih bisa dilewati dengan kehati-hatian sangat tinggi. Gita dan Asep langsung menyerah melihat jalur ini. Mereka memutuskan balik arah. Kembali ke Tegal Alun untuk melanjutkan istirahat dan mungkin langsung turun jika kami belum kembali. Sekalian menemui teman Erwan yang menunggu di Pondok Salada.

Aku, Erwan, dan Alz mantap mau mencoba jalur ini, walaupun tidak yakin ini adalah jalur menuju puncak. “It must lead us somewhere,” begitu pikirku. Sementara Daniel agak ragu, mencoba mengemukakan pandangan logisnya. Memang, diantara kami Daniel lah yang paling penuh pertimbangan. Namun akhhirnya Daniel mengalah. Dia tetap ingin mencapai puncak Papandayan, atau setidaknya merasakan petualangan ‘menyasarkan diri’ ini. Kami berhati-hati menyusuri jurang tersebut. Hanya beberapa meter turun, kami menemukan jalur yang lebih bersahabat di pinggir jurang. Setelah pindah jalur, kami mempercepat langkah.

Setelah berjalan beberapa ratus meter, atau mungkin beberapa ribu meter, well aku tidak menghitungnya. Akhirnya kami mencium bau belerang yang sangat tajam, menandakan kami berada sangat dekat dengan kawah Papandayan. Yang artinya juga kami semakin jauh dari puncak. Terus berjalan, kami melihat Pos 1 pendakian sekitar 200 meter dari posisi kami berada. Lelah dan sedikit kecewa, aku menghempaskan diri di dekat rerimbunan bunga entah apa namanya. “This led us nowhere,” gumamku kesal.

Teman-teman mengikutiku beristirahat. Dalam keadaan bingung, kami memutuskan untuk berfoto sekedar menghibur diri. Karena aksi foto-foto inilah akhirnya kami menyadari ternyata di posisi ini kami mendapat signal cukup bagus. Aku langsung bertanya di group WhatsApp Tektok Team tentang jalur menuju puncak. Ade yang pertama menjawab. Dengan bersemangat aku langsung meminta Daniel menelfon Ade, agar penjelasannya lebih mudah dipahami.

Setelah yakin dengan penjelasan Ade, kami langsung cabut, berbalik kembali menuju Tegal Alun, beristirahat sebentar disana, dan langsung bergerak lagi menuju puncak Papandayan. Ternyata jalur menuju puncak sangat bersahabat. Jauh lebih ringan dibanding jalur jurang yang barusan kami lewati. Kurang dari satu jam kemudian kami sudah tiba di Puncak Papandayan.

Tak lama kami disana, karena kabut cukup tebal menghalangi pemandangan kearah Tegal Alun maupun ke kawah Papandayan. Karena tidak banyak yang menarik, kami segera turun kembali ke Tegal Alun. Dari Tegal Alun, kami berembuk kembali untuk menentukan jalan pulang. Aku sendiri ingin mencoba kembali jalur jurang dengan harapan bisa bertemu dengan curug dan danau warna Papandayan yang konon sangat exotic. Alz dan Erwan langsung setuju. Kali ini keputusan kami serahkan pada Daniel. Setelah menimbang – nimbang sejenak, Daniel setuju.

Kembalilah kami menyusuri jalur yang sama, hingga tiba di dekat kawah Papandayan. Tapi kawah yang ini sedikit berbeda, warnanya lebih cantik dan bau belerangnya tidak begitu menyengat. Kami sempatkan berfoto sekedarmya di tempat ini sebelum melanjutkan perjalanan turun. Kami gagal menemukan curug dan danau warna, namun petualangan ‘menyasarkan diri’ di Papandayan sungguh luar biasa. Can’t wait to redo it again in the future.

 

Leave a comment