Sanggabuana, a Small Loving Society at 1291 masl

Sanggabuana. Tak sedikitpun terpikir olehku bahwa ini adalah nama sebuah gunung. Berlokasi di perbatasan Bogor, Karawang, dan Purwakarta, gunung ini tidak begitu dikenal di kalangan pendaki. Selain tidak begitu tinggi dengan ketinggian hanya 1291 mdpl, puncak gunung ini tertutup rapat oleh vegetasi, memberi pemandangan yang tidak begitu menarik ketika berada di puncak.

Namun bagi para peziarah, gunung ini sangat terkenal karena di puncak gunung terdapat beberapa makam keramat. Hampir tiap hari gunung ini ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai pelosok Jawa Barat.

Ide pendakian ke gunung ini awalnya tercetus tepat setelah aku dan teman-teman tim tektok turun dari gunung Parang di Purwakarta, bulan puasa lalu. Saat itu belum terpikir kapan akan direalisasikan, karena jadwal kami masih cukup padat hingga bulan September.

03 Oktober 2015, sebenarnya agenda awalku adalah untuk pulang kampung. Namun beberapa kondisi menyebabkan aku membatalkan rencana ini yang menyebabkan agenda wiken ini kosong. Awalnya aku berniat mengisinya dengan mendaki tektok ke puncak Salak 2. Namun setelah diskusi singkat di group whatsapp, akhirnya kami memutuskan untuk ke Sanggabuana, mencoba mendaki gunung yang selalu ramai oleh peziarah ini.

Pukul 23.00 kami sudah berkumpul di terminal Kampung Rambutan, siap berangkat menuju Karawang, titik awal pendakian Sanggabuana. Kali ini tim kami terdiri dari 8 orang. Bang Sulham seperti biasa sebagai team leader, aku sendiri, Retno, Fitri dan adiknya Wawan, Nia, dan Yayan. Sedangkan Komar menunggu di Karawang, yang notabene adalah daerah domisilinya.

Sebelumnya kami sudah mendapat brief dari Komar sebagai tuan rumah, bahwa untuk menuju Karawang bisa dengan menaiki bus apa saja yang menuju Purwakarta, Bandung, maupun Garut. Pilihan jatuh pada bus Garut karena ini adalah bus pertama yang melintas sejak kami menunggu di pintu keluar terminal. Dengan membayar Rp 20.000,- per orang, supir bus sepakat untuk membawa kami hingga pintu tol Karawang Barat. Setelah berjalan beberapa puluh meter keluar dari pintu tol, kami bertemu dengan Komar yang sudah siap dengan kolbak (sejenis truk pick up) yang akan membawa kami menuju beskem pendakian Sanggabuana.

04 Oktober 2015 sekitar pukul 02.00 dini hari tibalah kami di beskem tersebut. Cukup jauh dari pintu tol Karawang Barat, membutuhkan waktu sekitar 1 jam 15 menit untuk mencapai beskem. Karena harapan akan mendapat sunrise di puncak, kami tidak berlama-lama beristirahat di beskem. Setelah mengisi perut dengan segelas teh manis panas dan sebungkus pop mie, kami segera memulai perjalanan menuju puncak Sanggabuana.

Pukul 03.05 diawali dengan do’a bersama semoga pendakian berjalan lancar, aku beserta 7 peserta lainnya mulai melangkahkan kaki menyusuri jalur pendakian Sanggabuana. Trek awal cukup bersahabat, jalan landai dan sedikit terjal silih berganti kami temui. Komar memimpin di depan, aku menyusul di belakangnya, diikuti oleh Wawan. Formasi belakang di mulai dengan Retno, Fitri, Nia, Yayan, dan Bang Sulham sebagai sweeper.

Setelah sekitar seratus meter dari beskem, kami bertemu dengan areal persawahan yang cukup luas. Kondisi perjalanan malam membuat kami tidak bisa menikmati hijaunya padi laksana hamparan permadani. Kami terus berjalan setelah berjanji akan berhenti untuk mengambil beberapa foto ketika perjalanan turun nanti. Satu jam kemudian kami tiba di warung terakhir sebelum puncak. Ya, di sepanjang trek ini kami menemukan banyak bangunan warung. Walaupun warungnya tutup, namun bangku di depan warung cukup membantu kami beristirahat dengan leluasa.

Sesudah warung kami bertemu dengan tanjakan terjal yang dikenal sebagai “Tanjakan 2 Jam”. Nama yang sedikit menakutkan, karena nama ini menyiratkan bahwa kami tidak akan menemukan jalur landai atau ‘bonus’ hingga 2 jam kedepan. Dan benar saja, trek berikutnya tak lagi sesantai tadi. Berkali-kali aku, Komar, dan Wawan terpisah jauh dari rombongan belakang. Jalur menanjak terus dengan kemiringan diatas 50 derajat. Nafas kami mulai tersengal, lutut mulai gemetaran, dan keringat semakin bercucuran. Sungguh trek yang sangat menantang untuk sebuah gunung dengan ketinggian 1291 mdpl. Sebenarnya khas gunung Jawa Barat yang semakin pendek justru semakin berat jalur pendakiannya.

Subuh menjelang ketika kami berhasil melewati Tanjakan 2 Jam. Kami sepakat untuk beristirahat memberi waktu untuk sholat Shubuh bagi yang menjalankan. Sebagian yang tidak sholat, memilih memanfaatkan waktu untuk tidur.

Setengah jam kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Sanggabuana. Dari sini hanya satu bangunan yang kami temui sebelum tiba di puncak. Bangunan yang ternyata adalah makam ini tidak jauh berbeda dengan bangunan-bangunan yang kami temui sebelumnya, hanya tidak ada bangku yang bisa digunakan untuk beristirahat di pekarangannya.

Sekitar pukul 06.20 kami tiba di puncak 1. Disini kami menemukan beberapa makam keramat yang sudah kami dengar keberadaanya sebelum naik. Dan yang membuatku lebih terheran-heran adalah perkampungan yang kami temui di sekitaran makam. Ada sedikitnya 4 rumah di puncak Sanggabuana ini. Dua diantaranya membuka usaha warung. Menjadi surga bagi para pendaki yang tidak mau membawa beban logistik berat sepertiku.
20151004_064800
Setelah mengambil beberapa foto bersama sunrise yang muncul dari balik pepohonan, kami segera menyerbu salah satu warung. Pemilik warung ini sudah tinggal disini sejak lebih dari 5 tahun yang lalu. Hanya sesekali turun gunung jika ada keperluan mendesak. Bahkan untuk berbelanja, mereka memanfaatkan tenaga porter untuk membawa barang belanjaan ke puncak. Sedangkan listrik dihasilkan oleh genset yang hanya berfungsi di malam hari. Mila, putri pemilik warung yang masih berusia 5 tahun menyambut kami dengan senyum malu-malu. Mila sangat cantik dan lincah. Membuat kami sangat terkesan. Seperti ibunya, Mila sangat jarang turun gunung. Tapi bila saatnya turun, dia sangat bersemangat. Lain halnya jika waktunya naik, Mila pasti minta digendong.

Aku dan Retno asik bercengkrama dengan Mila. Sedangkan teman-teman yang lain memilih tidur di bale-bale yang ada di dalam warung. Tak terasa waktu berlalu sangat cepat, sedangkan kami masih harus menuju puncak 2, yang merupakan puncak tertinggi Sanggabuana sekaligus perbatasan wilayah kabupatem Purwakarta dan Bogor. Pukul setengah 8 aku membangunkan teman-teman, mengajak untuk segera melanjutkan perjalanan.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di puncak 2. Tepat pukul 07.50 kami sudah menjejakkan kaki di tugu perbatasan yang ada di puncak ini. Sedikit kecewa, karena vegetasi puncak ini jauh lebih rapat dibanding puncak 1, dan posisi bendera merah putih sangat tinggi di atas pohon yang menyulitkan kami untuk berfoto dengan bendera.

Untuk mengobati kekecewaan kami, akhirnya terciptalah beberapa foto ‘alay’ yang menghiasi dokumentasi perjalanan tektok team kali ini. Bang Sulham, Yayan, dan Nia memutuskan melanjutkan tidur mereka sementara aku dan yang lainnya sibuk berkreasi menciptakan foto ‘alay’.

Pukul 08.47 kami sudah kembali ke puncak 1. Melanjutkan istirahat dan sarapan bagi yang belum. Karena masih pagi, kami merencanakan untuk mampir ke curug Cigentis nanti setelah turun ke beskem. Setelah berleha-leha hampir sejam lamanya, sekitar pukul 09.40 kami sudahkembali melanjutkan perjalanan turun menuju beskem.

Sesuai janji tadi pagi, aku memutuskan berhenti di lokasi persawahan untuk mengambil beberapa foto. Ternyata teman-teman yang lain mengikuti. Jadilah kami menghabiskan beberapa menit disini untuk berfoto. Mengobati kekecewaan karena di puncak tidak berhasil mendapatkan foto yang wow.

Setelah puas dengan berbagai pose, kami lanjutkan perjalanan menuju beskem. Tepat pukul 11.45 kami mencapai beskem dan langsung menikmati segarnya minuman dingin pilihan masing-masing. Namun sayangnya, rencana ke curug Cigentis hanya tinggal wacana. Pengunjung yang membludak di hari Minggu membuat kami mengurungkan niat untuk kesana, dan memilih langsung kembali ke Jakarta.

Leave a comment