Menjejak Awan Di Tanah Kelahiran

“Iis, pas lebaran nanjak Marapi yuk”
Kurang lebih begitu ajakan Afdhal sebulan sebelum puasa kemarin. Ajakan yang tanpa pikir panjang langsung kuiyakan. Entah kapan tepatnya dan bagaimana realisasinya, lihat nanti saja, begitu pikirku. Dan kita hampir tak pernah membicarakannya lagi dengan serius. Selalu “lihat nanti saja”.

Begitulah, sederhana dan hampir tak terencana. Perjalananku menuju puncak Merpati, puncak tertinggi di kota kelahiranku, kota Bukittinggi.

Mendekati lebaran, kita mulai memikirkan tanggal. Lebaran hari ke 4, 20 Juli 2015 menjadi usulanku. Uda faiz dan Afdhal yang akan menjadi partner pendakianku kali ini, menyepakatinya. Tapi tetap saja, ini masih menjadi jadwal tentatif, tergantung bagaimana kondisi di rumah masing-masing.

Lebaran hari ke 3, 19 Juli 2015. Aku berangkat menuju pasar Aur Kuning dengan menumpang ojek. Sate Laysir, pukul 16.00 menjadi meeting point yang kami sepakati. Aku dan Uda Faiz tiba lebih dahulu. Setelah kami menghabiskan satu porsi Sate Padang, Afdhal datang menyusul.

Pukul 17.30 kami berangkat naik angkot menuju Koto Baru, dimana basecamp resmi pendakian Marapi berada. Kami turun di Simpang Batu Palano, dan melanjutkan dengan naik ojek ke pos pendaftaran. Cukup membayar 10 ribu saja, tapi belakangan kami tahu bahwa tarif normal hanya 5 ribu. Hmm, I guessed we are considered as tourist.

Setelah membayar simaksi sebesar Rp 7.500,- per orang, kami melanjutkan perjalanan ke pos 1. Tadinya kami berharap untuk dapat beristirahat di pos pendaftaran. Akan tetapi disini tidak ada tempat yang memadai untuk istirahat. Petugas pendaftaran menyarankan agar kami melanjutkan ke pos 1 dan beristirahat disana. Karena fasilitas di pos 1 jauh lebih memadai.

Berharap bisa menunaikan Sholat Magrib di pos 1, kami segera mempercepat langkah. Info dari petugas, hanya perlu 10 menit trekking dari pos pendaftaran ke pos 1. Kenyataannya, waktu yang kami butuhkan jauh lebih lama, yakni sekitar 30 menit. Diperjalanan kami dibalap oleh serombongan pendaki. Rombongan yang unik, karena salah satunya adalah anak kecil berusia sekitar 8 tahun. Langkah mereka terhitung cepat mengingat ada anak kecil di rombongan tersebut. “Mungkin keluarga pendaki”, batinku.
Sekitar pukul 19 malam kami tiba di pos 1. Suasana dan fasilitasnya lebih mirip basecamp gunung pada umumnya, hanya minus warung. Kami dapati beberapa tenda di sini, sekumpulan anak remaja sedang asik bercerita di sekeliling api unggun. Setelah permisi dan sedikit basa basi, kami segera menuju mushola, istirahat sebentar dan kemudian menunaikan sholat jamak, Magrib dan Isya.

Kami memutuskan untuk memulai trekking malam hari, dengan harapan tiba di puncak tepat pada waktu sunrise. Tak jauh dari mushola, tersedia bale-bale untu tempat beristirahat. Disanalah kami merebahkan diri dan mencoba memejamkan mata untuk beberapa jam kedepan.

Pukul 23.30 kami memulai trekking menuju puncak Merpati. Beberapa pendaki lain sudah memulai pendakian sejak sehabis Magrib. Cukup sepi, hanya kami bertiga menyusuri trek yang Alhamdulillah cukup jelas. Selain jelas, trek di awal pendakian ini cukup bersahabat. Dengan kemiringan yang cukup landai, trek juga cukup lebar dan kering. Kami juga mendapati banyak warung bambu tak berpenghuni di sepanjang awal trek.

Perjalanan kami dipimpin oleh Afdhal. Aku memilih berjalan di belakang. Sehingga menyisakan Uda Faiz di antara kami. Seperti biasa, kami memulai dengan langkah pelan dan santai. Memberi waktu untuk otot-otot kami beradaptasi dengan trek, dan dengan suhu yang cukup untuk membuat tubuh menggigil.

Beberapa kali kami melewati tenda-tenda pendaki, terlihat beberapa pendaki sedang membuat api unggun tak jauh dari tendanya. Biasanya kami berhenti sejenak sekedar menyapa sekaligus mengistirahatkan otot-otot yang mulai kaku. Tak lupa kami bertanya tentang waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk sampai di puncak Merpati. Sebagian besar memberi jawaban sekitar 4-5 jam perjalanan.

Suatu ketika kami berhenti di sebuah camp area yang tidak begitu luas. Hanya ada satu tenda disana. Seorang pendaki sedang duduk disamping tenda sambil menikmati isapan demi isapan rokok yang terselip diantara jemarinya. Ternyata mereka ini adalah rombongan yang membawa anak kecil yang tadi melewati kami sebelum sampai di pos 1.

Kami memutuskan beristirahat cukup lama disini. Karena dari info si pendaki ini, hanya perlu 2 jam lagi untuk sampai di puncak. Sedangkan saat itu masih pukul 1 dini hari. Kami khawatir akan kedinginan jika terlalu pagi tiba di puncak, dan akan terlalu sayang jika kami turun sebelum terang.

Pukul 02.00 dini hari kami melanjutkan perjalanan. Sengaja memberi spare waktu lebih untuk langkah kaki kami yang tentu tidak sekuat dan secepat penduduk lokal. Well, kami sebenarnya penduduk lokal, hanya sudah lama termanjakan oleh fasilitas ibukota.

Semakin jauh, jalur pendakian semakin terjal dan sedikit licin. Kami harus lebih berhati-hati dalam melangkah. Menjelang pagi, kami masih jauh dari puncak. Ternyata perjalanan yang katanya hanya perlu waktu 2 jam, kami selesaikan selama 4-5 jam. Yah, langkah singkat dan kaki kecil kami ternyata masih terlalu lemah untuk ukuran pendaki lokal.

Menjelang pukul 6 pagi, kami mencapai batu cadas. Yang kudengar, di atas batu cadas inilah puncak Merpati berada. Uda Faiz sudah cukup kelelahan, namun dia memaksa kami meninggalkannya dan meyakinkan kami bahwa dia akan menyusul ke puncak. Sejenak, aku ragu. Aku menyuruh Afdhal untuk berjalan lebih dulu, sementara aku ikut istirahat menunggu Uda Faiz. Tapi sekali lagi dia meyakinkanku untuk berjalan duluan. Bahwa dia akan menyusul, bahwa dia akan baik-baik saja walaupun berjalan sendiri karena sebentar lagi Matahari akan bersinar terang dan dia akan melihat jalur dengan jelas.

Masih setengah ragu, akhirnya aku mengiyakan. Aku berjalan melewati batu cadas yang tersebar merata di jalur yang terjal. Tak lama aku menyusul Afdhal yang ternyata juga setengah hati meninggalkan kami. Tiap sebentar dia berhenti dan menoleh ke belakang. Setelah menyampaikan kata-kata Uda Faiz, aku berjalan terus. Afdhal ternyata tidak langsung mengikutiku, dia masih terus menoleh kebelakang.

 

Sekitar 10 menit kemudian aku tiba di tugu Abel. Tugu ini merupakan tugu peringatan untuk Abel Tasman yang meninggal karena menyelamatkan seorang pendaki perempuan pada saat Gunung Marapi meletus. Di depan tugu Abel terbentang lapangan pasir yang sangat luas. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, bingung dimanakah puncak Merpati berada. Jauh di kiri depanku berkibar bendera merah putih, yah sebenarnya hanya terlihat seperti kain dengan warna yang tidak begitu jelas. Kuasumsikan itu puncak Merpati, dan akupun melanjutkan perjalanan kesana.

Setelah melewati lapangan pasir, aku harus melewati pinggiran kawah mati yang juga sangat luas. Angin bertiup sangat kencang diatas sini. Kabut putih menutupi sinar Matahari pagi. Sedikit kecewa karena gagal mendapatkan sunrise, aku melanjutkan langkah. Trek akhir menuju puncak merpati kembali menanjak cukup terjal. Disini banyak pendaki yang hendak naik maupun yang akan turun. Jadi akupun dengan sabar mengantri.
20150720_064310
Alhamdulillah, pukul 6.35 pagi 20 Juli 2015 akhirnya aku tiba di Puncak Merpati. Sendiri. Kulihat Afdhal tak jauh di bawah puncak. Sepuluh menit kemudian dia sudah bergabung denganku. Karena masih banyak pendaki lain yang sibuk berfoto, kami memutuskan untuk membuka perbekalan terlebih dahulu. Setelah sedikit mengisi perut dan melepas dahaga, kamipun mulai berburu foto. Setiap sudut puncak Merpati yang tidak begitu luas menjadi sasaran foto kami. Gunung Singgalang berdiri dengan anggun di arah barat. Samudera awan berada di bawah kami, layaknya tumpukan kapuk. Aku tergoda untuk menghempaskan tubuh lelahku disana, tapi tentunya logikaku masih sehat dan aku hanya tersenyum dengan godaan pikiran itu.

Pukul 7.30, kami sudah merasa puas untuk berfoto. Namun Uda Faiz masih belum terlihat. Kami mulai ragu dan khawatir. Apakah akan meneruskan menunggu di puncak atau menyusul ke bawah. Akhirnya kami putuskan untuk menunggu hingga 30 menit lagi. Kami akan turun jika Uda Faiz masih belum berhasil menyusul kami di Puncak Merpati. 20 menit berlalu, aku semakin khawatir, dan semakin sering melongokkan kepala ke arah jalur pendakian. Berharap aku bisa melihat Uda Faiz diantara para pendaki lainnya yang berjalan menuju puncak.

“Itu Faiz,” Afdhal yang pertama kali melihatnya di trek pinggir kawah. Aku lega. Setelah memastikan bahwa orang yang dilihat Afdhal adalah Uda Faiz, aku memutuskan duduk, beristirahat menunggunya tiba di puncak. 20 menit kemudian aku menyalaminya, mengucapkan selamat karena berhasil summit Marapi, tektok. Buat Uda Faiz ini merupakan tektok gunung pertamanya.

Tentunya ritual foto-foto berlanjut dengan lengkapnya tim kami. Uda Faiz sudah menyiapkan beberapa lembar kertas ucapan untuk berfoto di puncak Merpati. Oh jangan khawatir, semua kertas dan sampah makanan dibawa turun kembali sampai kami menemukan tempat sampah di kota.

Menjelang pukul 9 pagi kami sudah turun. Kami menyempatkan diri berfoto di tugu Abel, dan kemudian melanjutkan perjalanan turun. Setelah beberapa kali beristirahat, menjelang tengah hari kami akhirnya kembali ke pos 1. Disini kami istirahat, mandi, dan sholat.

Ternyata pos 1 ini merupakan kawasan wisata Gunung Marapi. Kami bertemu dengan para wisatawan yang datang kesini untuk menikmati indahnya gunung Singgalang dilihat dari Marapi. Benar, Marapi dan Singgalang merupakan gunung kembar dengan lokasi yang berdekatan. Mirip dengan Merbabu dan Merapi serta Sindoro dan Sumbing di Jawa Tengah.

Sekitar pukul 1 siang, kami melanjutkan perjalanan turun. Beberapa kali aku menoleh ke belakang, terimakasih Marapi, terimakasih teman-teman, to help me make my childhood dream come true. See you again ~

20150720_090652 20150720_064124 IMG-20150726-WA0025

 

Leave a comment